
Memasak menjadi hal yang sangat sulit bagi warga Singapura yang kurang mampu, semua serba mahal kecuali memasak untuk keluarga besar yang harus dilakuka setiap hari kata penulis buku masak Pamelia Chia.
Di masa pandemi, Pamelia melakukan panggilan Zoom dengan sepasang teman yang baru menikah. Mereka baru saja pindah, dengan gaya Singapura sejati, menunjukkan setiap sudut rumah mereka secara daring.
Mereka sedikit ragu saat menunjukkan dapur, tetapi setelah didesak, mereka memutar kamera untuk memperlihatkan satu kompor listrik dan lemari es yang berfungsi sebagai ruang penyimpanan minuman dan cangkir yoghurt.
Pamelia sangat terkejut bahwa lemari es tersebut tidak memiliki satu ons pun daging atau sayuran, dan dia bertanya, “Apa yang Anda makan setiap hari?”
“Makanan instan lah. ketika kami pulang kerja, kami sudah terlalu lelah untuk memasak dan bersih-bersih.”
Mungkin tidak menjadi hal yang aneh bahwa ini adalah fenomena umum di antara orang milenial yang miskin waktu di Singapura.
Sebuah survei baru -baru ini menunjukkan bahwa hanya 22 persen orang Singapura yang memasak di rumah setiap hari, dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Shanghai dan London.
Dari semua perayaan akhir tahun yang anda ikuti pada saat ini, tuan rumah yang memasak banyak mungkin sangat sedikit. Mengapa repot ketika kita bisa dilayani atau memesan dari luar?
BUDAYA MAKAN DI LUAR
Jika saya bisa menjelaskan penyebab matinya masakan rumahan di Singapura, itu adalah ketidak mampuan, kenyamanan, dan kemudahan makanan cepat saji. Ketika Singapura menjadi pelabuhan perdagangan, hal itu menarik tenaga luar yang sebagian besar adalah buruh laki-laki. Orang-orang ini tinggal di tempat yang sempit dengan sirkulasi yang kurang layak, apalagi memikirkan fasilitas untuk memasak sendiri.
Makanan yang dijajakan oleh para pedagang tidak hanya menjadi santapan sehari-hari, tetapi satu-satunya pilihan yang layak. Ini bukan berarti bahwa makanan itu adalah pilihan yang buruk. Karena penjaja cenderung hanya menjual satu hidangan, mereka menyempurnakan makanan mereka menjadi sangat menarik dan enak.
Saat restoran dibuka, kita dapat menemukan makanan yang benar-benar lezat hanya dengan beberapa dolar. Sehingga makan di luar menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan orang Singapura, namun tetap menjadi barang mewah di negara lain.
Saat ini, makanan jajanan lebih terjangkau dibandingkan masakan rumah. Kecuali dilakukan secara teratur dan untuk keluarga besar.
Sebelum tahun 1970-an, banyak keluarga besar di Singapura (nenek dan nenek mertua saya masing-masing memiliki lebih dari lima anak), tetapi dengan penurunan tingkat kelahiran dan kehidupan multi-generasi tidak lagi menjadi normal, memasak kini menjadi kurang penting. sangat berbeda dari sebelumnya.
TEMPAT SEORANG WANITA
Seiring berkembangnya Singapura, perempuan mendapatkan peran penting. Hal itu juga mengakibatkan hilangnya keterampilan memasak. Sharon Wee, penulis Growing Up in a Nonya Kitchen, membahas tentang bagaimana ibunya mewakili generasi “ibu rumah tangga profesional” yang hilang, yang identitasnya semakin hilang pada makanan dan pekerjaan rumah karena semakin banyak wanita yang memasuki dunia kerja.
Tetapi karena “mendapatkan pendidikan dipandang lebih penting daripada memperoleh keterampilan memasak” pada 1980-an, menurut penulis buku masak Matthew Lloyd Tan, wanita lebih mementingkan pekerjaan.
Shameen Akbar, seorang manajer proyek berusia 30-an, mengatakan bahwa menghabiskan waktu di dapur meciptakan citra perempuan simpanan, sebuah fenomena yang tidak ingin dia masuki.
Selain itu, karena orang Singapura menjadi lebih makmur, memasak mulai dianggap sebagai pekerjaan bernilai rendah, sesuatu yang hanya Anda lakukan jika Anda tidak punya pilihan, atau menyandang status sebagai pembantu rumah tangga.